Senin, 27 Agustus 2007
A Glance Success Story of Chuck Glider
Lapangan ini sebenarnya tidak ideal untuk melakukan penerbangan karena kondisi lapangan yang ditumbuhi beraneka tumbuhan liar. Disamping itu, masyarakat disekitar lapangan ini membiarkan hewan ternak sapinya berkeliaran di lapangan ini sehingga banyak bertebaran kotoran sapi. Terdapat pula deretan tempat membuang air besar oleh penduduk setempat di sisi kiri lapangan yang dihubungkan oleh saluran air yang air kotorannya terus menerus mengalir. Saluran ini menuju saluran yang lebih besar sehingga di sekitar lapangan ini terdapat dua saluran pembuangan air kotoran penduduk.
Angin bertiup lembut, saya melempar pesawat berlawanan dengan arah hembusan angin. Saya melempar dengan perlahan-lahan untuk memeriksa bahwa apakah pesawat saya terbangnya sudah lurus kemudian turun secara perlahan-lahan. Ternyata terbangnya masih sering diving hidungnya menukik tajam.
Pemberat dari karet bekas ban dalam yang telah terpasang dua minggu sebelumnya, saya lepaskan. Pesawat dilempar lagi dengan menggunakan tangan kanan dengan jalan menggunakan telunjuk dan jari tengah sebagai penopang sayap di belakang, ibu jari menahan badan pesawat sebelah kiri, dan kelingking bersamaan dengan jari manis menahan badan pesawat sebelah kanan. Hasilnya lumayan, pesawatnya terbang lurus kemudian turun perlahan-lahan.
Namun saya masih penasaran. Saya menunggu hingga angin bertiup dengan lembut. Begitu mendapat angin, saya melempar pesawat kuat-kuat. Pesawat lepas meluncur hingga menanjak ke atas sekitar 20 meter lebih. Pesawat terbang dengan lembut dan semakin menanjak hingga mencapai titik tanjak maksimal. Pelan-pelan pesawat belok ke kiri dan turun secara perlahan-lahan dengan waktu terbang mulai pada saat dilemparkan hingga pesawat mendarat sekitar lebih dari 15 detik. Secara keseluruhan jarak tempuh tidak kurang dari 20 meter pada saat pesawat terbanga lurus hingga mendarat. Pesawat mendarat di sela-sela pohon pisang dekat saluran air. Saya segera berlari mencari pesawat. Jangan-jangan pesawatnya crash atau mendarat di air pikir saya. Setelah melihat pesawat dalam posisi miring dan tidak terkena air, saya merasa lega.
Ah….alangkah senangnya dan puasnya perasaan saya karena belum pernah saya lihat pesawat saya terbangnya seperti ini. Satu kepuasan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata… Sengkang, 27 Agustus 2007.
Jumat, 24 Agustus 2007
Prospek Pengembangan Aeromodeling di Watampone
Untuk menggeluti hobi ini seseorang tidak harus merongoh kocek dalam-dalam. Pada satu ketika, saya berbincang-bincang dengan teman sekantor sebut saja namanya Pak Hengki, ternyata persepsi teman saya masih menganggap bahwa olahraga aeromodeling adalah hobi yang mahal. Memang ada benarnya, namun tidak semuanya benar. Jika kita ingin mulai dengan kocek dua puluh ribuan, kita sudah bisa memiliki sebuat pesawat F1 chuck glider pesawat terbang bebas tanpa mesin yang terbuat dari kayu balsa. Setelah berbincang-bincang sejenak dengan Pak Hengki, rupanya beliau juga tertarik dengan aeromodeling.
Masalalah yang ada sekarang yakni di tempat saya di Watampone, belum ada klub yang bergerak pada kegiatan aeromodeling. Bahkan untuk saat ini, bukan hanya di Watampone tidak terdapat klub aeromodeling, kabupaten lain di Sulawesi Selatan juga belum ada klub kecuali yang ada di Makassar yang meskipun tempat latihannya banyak di Kabupaten Maros, tempat Bandara Hasanuddin dan Skuadron 11 berada. Namun sejauh ini, sudah ada daerah yang tertarik mengembangkan aeromodeling yakni Pangkep.
Untuk Watampone kabupaten Bone, saya berinsiatif untuk mengembangkan aeromodeling. Walaupun pada saat sekarang belum ditemukan kegiatan menerbangkan pesawat di tempat ini. Saya biasa menerbangkan pesawat chuck glider pada saat ke Sengkang. Itupun masih dalam tahap “belajar”.
Pengembangan aeromodeling di Watampone dapat dilakukan dengan memperkenalkan jenis pesawat terbang bebas kelas F1 ke pramuka, murid SMP atau SMU, dan masyarakat umum lainnya. Pesawat yang cocok misalnya chuck glider dan glider A1 yang masing-masing merupakan pesawat tanpa mesin yang dilempar dengan tangan. Disamping itu, dari segi harga, pesawat tersebut relatif terjangkau untuk kantong siswa dan mahasiswa.
Untuk tahap awal, saya harus latihan sendiri sambil memperkenalkan olahraga ini pada teman-teman. Setelah terkumpul peminatnya, barulah diupayakan untuk melakukan pelatihan perakitan pesawat sekaligus cara menerbangkannya. Pelatihnya sudah ada di Makassar dan bahannya berupa kayu balsa dapat dipesan di Magelang. Setelah melakukan pelatihan, untuk selanjutnya dipikirkan pembentukan klub aeromodeling. Konsep nama klub yang ‘terlintas di kepala’ yaitu Watampone Aeromodeling Klub atau Bone Aeromodeling Klub.
Mengenai tempat latihan, olah raga ini nantinya menjadi olahraga murah yang istimewa karena pemerintah daerah Bone berencana membangun fasilitas bandara udara. Hal ini sangat menguntungkan bagi pengembangan aeromodeling di Bone karena fasilitas ini dapat digunakan sebagai tempat latihan aeromodeling. Dengan adanya dukungan fasilitas yang memadai, bisa jadi akan lahir atlit olahraga aeromodeling di tempat ini yang akan mewakili daerah ini pada event lokal, nasional, bahkan internasional. Peluang ini sangat besar mengingat penggiat olahraga ini secara kuantitas masih sangat sedikit. Demikian sekelumit ide dan gagasan saya mengenai aeromodeling di tempat ini. Watampone, 24 Agustus 2007.
Senin, 20 Agustus 2007
Ke Lapangan Skuadron 11 Mandai
Keesokan paginya pukul 05.15, saya sudah bangun berkemas-kemas setelah shalat subuh. Menunggu mobil jemputan yang akan ke Makassar. Mobil jemputan tiba pukul 06.15 dan langsung menuju Makassar.
Di perjalanan cuaca sangat mendung. Sekali-sekali hujan rintik-rintik mengiringi perjalanan saya. Jalanan dari Watampone ke Makassar berkelok-kelok yang melewati hutan dan jurang yang terjal. Dibenak saya, saya berpikir, jangan-jangan di lapangan juga mendung dan hujan. Wah..bisa gawat nih…
Namun setelah jarak tempuh perjalanan lebih dari 100 kilo meter, cuaca di depan cerah hingga di Mandai.
Sesampainya di tempat tujuan, saya singgah melapor di piket pangkalan udara dan jalan kaki sekitar 400 meter menuju lapangan. Setelah tiba, wah…kok tidak ada yang kelihatan orang yang sedang latihan? Saya tunggu lagi sekitar 15 menit, tapi tak kunjung ada orang yang terlihat menerbangkan pesawat.
Saya konfirmasi ke Nelce, dibalik pesannya ia mengatakan “maaf, hari ini nggak ada yang latihan, mungkin capek karena kemarin ikut acara 17-an. Mereka diundang di Pangkep”
Aduh…alangkah dongkolnya hati saya!!!
Sudah bersusah-susah datang ke tempat ini, tapi hasilnya…nihil!!
Kali ini keinginan saya untuk latihan bersama menerbangkan glider tidak terlaksana, tapi pada kesempatan lain saya harus menerbangkan glider.
Sepertinya untuk menggeluti hobbi ini, butuh pengorbanan dan kesabaran.
Mandai, 19 Agustus 2007
Jumat, 17 Agustus 2007
Chuck Glider Pelangi
Setelah tiba di lapangan rumput dekat danau Lampulung, persis di bibir kawasan Rumah Adat AtakkaE, Sengkang, saya memandang lepas kearah danau yang di tengahnya dipenuhi tumbuhan air seperti enceng gondok dan kangkung. Kawasan ini merupakan kawasan dimana replika berbagai rumah adat Bugis dipajang dan setiap tahun digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pameran pembangunan. Pada sisi luar kawasan ini terdapat lapangan rumput yang ukurannya seluas lapangan bola.
Chuck Glider yang saya telah saya rakit di rumah, saya coba terbangkan di lapangan ini. Pesawat ini sebelumnya saya peroleh di Bandung Aeromodeling yang saya beli berupa ARF. Tinggal memasang sayap dan covernya. Bentang sayap 50 cm dengan berat 40 gram. Luas sayap 5 Dm2, konstruksi sayap, badan, dan ekor dari kayu balsa.
Saya coba melempar chuck glider berlawanan dengan arah angina. Arah pergerakan pesawatnya menanjak dan berputar sebentar lalu turun mendarat dengan cepat. Dua timah pemberat sudah hilang semua karena sebelum saya terbangkan di lapangan rumpur, saya mencoba menerbangkan di tempat yang tinggi di pinggir jalan. Akibatnya hidung pesawat crash ringan akibat benturan aspal.
Posisi pesawat selalu menanjak stalling kemudian berputar dan mendarat dengan cepat. Saya memutuskan untuk mentrim ekor belakang dengan menekuk ke bawah. Hasilnya agak lumayan, mulut pesawat tidak terlalu menanjak saat diterbangkan. Waktu yang digunakan untuk mengudara masih belum memuaskan, hanya hampir tiga detik.
Pemberat timah yang sudah hilang saya ganti dengan karet bekas ban dalam motor yang saya temukan di lapangan itu. Dengan menggunakan lem cyano, saya guntung bekas ban dalam tersebut dan menggunakn sebagai pemberat hidung pesawat. Daya lengketnya begitu kuat, sekali pasang lengket terus. Tidak sama dengan pemberat timah tadi. Walaupun beberapa menit setelah dilem, kalau jatuh di tempat tidak berumput maka timahnya pasti jatuh.
Setelah beberapa kali melakukan pelemparan, karet pengikat sayap pesawat hilang. Saya tidak membawa karet cadangan ke lapangan kecuali sebuah cutter dan lem cyano. Situasi seperti ini yang perlu diperhatikan atau dipersiapkan sebelum turun lapangan. Harus membawa alat!!
Inilah pengalaman pertama saya menerbangkan chuck glider Pelangi di lapangan berumput. Secarakeseluruhan penerbangan pertama saya belum memuaskan, karena masih butuh pengalaman mentrim pesawat lebih banyak. Penerbangan sebaiknya dilakukan di lapangan berumput agar bagian pesawat tidak rusak saat mendarat dan membentur tanah atau aspal. Dan, yang perlu diperhatikan yaitu bawalah perlengkapan kerja atau assesoris pesawat ke lapangan. Sengkang, 13 Agustus 2007.
Kamis, 16 Agustus 2007
aeromodeling mutiara terpendam
Beritanya berkali-kali saya baca saking penasarannya. Salah satu isinya memperkenalkan kelas dalam aeromodeling yang penamaannya ada kemiripan dengan mobil balap yakni F1, F2, F3, F4, dan F5. Saya semakin tertarik membacanya dan terus membaca. Namun informasi yang disajikan di koran tersebut tentunya terbatas, sebatas 5W1H.
Merasa informasi yang saya baca di koran tersebut tidak memadai dengan keinginan saya untuk yang lebih besar untuk mengetahui dunia aeromoeling maka saya memutuskan untuk mencari di internet. Keesokan paginya setelah shalat subuh, saya jalan kaki ke warnet Bayonet yang dekat dengan tempat saya.
Setelah browsing beberapa saat, alangkah senangnya hati saya menemukan informasi yang saya cari. Klub dan peralatan aeromodeling ternyata ada di Jogja. Artinya saya tidak harus mengeluarkan energi yang lebih untuk mengunjungi kota lain yang menyediakan peralatan dan informasi aeromodeling.
Melalui penelusuran internet, saya mendapatkan alamat toko yang menjual peralatan aeromodeling yang letaknya tidak jauh dari asrama. Wah... di toko itu, ada berbagai macam produk pesawat seperti helikopter, pesawat bersayap tetap, dan berbagai aksesoris. Setelah saya tanyakan kepada penjualnya, alangkah kagetnya aku mendengarkan harga pesawat dalam kisaran jutaan rupiah.
Bukan itu yang saya butuhkan, pikir saya. Bagaimana jika seandainya saya beli heli tapi karena saya belum mahir menerbangkannya dan jatuh!!! Tentunya rugi besar dong!! Pikiran saya sama dengan pikiran orang awam tentang aeromodeling. Dalam benak saya, yang saya butuhkan yaitu pesawat yang dapat diterbangkan tanpa mesin, baling-baling, dan bahannya terbuat dari kayu balsa. Persis seperti yang diperagakan dalam acara Hasta Karya di TVRI sekitar akhir 70-an atau awal 80-an. Karena acara inilah yang memberikan inspirasi besar terhadap aeromodeling. Saya harus mengucapkan terima kasih banyak kepada pengasuh acara tersebut. Karena sampai saat ini inspirasi tersebut bagaikan mutiara yang terpendam. :-)
Ternyata keinginan tersebut setelah membaca berbagai artikel di internet adalah termasuk jenis pesawat kelas F1 atau On Hand Launched Glider. Besawat yang diterbangkan dengan bantuan lemparan tangan, bukan mesin.
Belum waktunya saya menggunakan pesawat Radio Control karena untuk mempelajarinya sangat sulit bagi saya yang belajar sendiri. Maklum tempat saya sekarang di Watampone sangat jauh dari klub aeromodeling yang hanya ada di Makassar untuk Sulawesi Selatan. Perjalanan ke Makassar membutuhkan waktu sekitar 4 jm! Harus ada klub atau instruktur yang mendampingi. Kalau langsung membeli pesawatnya dan RCnya artinya saya bertindak konyol. Membeli untuk merusak!!!
Pesawat kayu balsa tidak dijual di tempat tersebut. Hati saya kecewa karena yang saya cari tidak ketemu. Setengah frustasi saya menatap kembali pesawat dan berbagai assesories pesawat yang dipajang di toko tersebut.
Saya mengatakan kepada penjualnya
"Mas, saya ini pemula. Pesawat apa yang cocok bagi pemula?"
"O, kalo gitu, pake aja simulator, mas!, kalo pesawatnya jatuh tidak bakalan apa-apa. Seribu kali pesawat jatuh tidak ada yang rusak karena alatnya disambung ke komputer"
"Harganya, berapa?"
"Harganya 200 ribu, tapi sudah turun. Ambil aja 185 ribu"
Wah... boleh juga tuh pikir saya.
Saya minta tolong kepada penjaga tokonya untuk membuka bungkusnya dan memperagakan ke komputer cara pakainya.
setelah penjaga toko mempraktekkan saya berpikir, wah...boleh juga nih.
Saya langsung Okkan saja dan membayar.
Sekarang saya telah memilik flight simulator untuk latihan menggunakan RC.
Pada hari Jumat, minggu terakhir bulan Juli 07 setelah sebalumnya saya sudah berada di Depok Jabar. Saya jalan-jalan ke Bandung sekaligus untuk mengambil salinan ijazah saya di pasca Unpad. Setelah mengambil legalisir tersebut, saya sempatkan diri ke Ciwalk, saya singgah sejenak di warnet. Setelah browsing di warnet jalan Cihampelas saya dapatkan alamat Bandung Aeromodeling yang alamatnya tertera di situsnya. Masih ada waktu sekitar dua jam sebelum tempat tersebut waktu tutup kantor. Saya segera memtuskan untuk segera ke sana sebelum kembali ke Depok. Setelah konfirmasi dengan petugas di balik telepon mengenai jalur angkot ke tempat tersebut. Saya segera naik angkot jurusan Cicahem-Ciroyom dan turun di perempatan dekat rumah sakit Hasan Sadikin Bandung untuk naik angkot City Hall-Gunung Batu. Saya turun di depan Jalan Dakota dekat Borma. Selanjutnya naik becak menuju tempat Bandung Aeromodeling. Di sana saya bertemu dengan Mas Budi Atmoko pemilik tempat ini. Saya bertanya sepus-puasnya tentang berbagai pesawat yang dipajang di show roomnya hingga tak terasawaktu menjelan magrib. Untung Mas Budi dengan senang hati rela meluangkan waktunya untuk menjawab berbagai pertanyaan saya tentang aeromodeling.
Setelah konsultasi, saya memutuskan untuk membeli dua buah pesawat F1 Pelangi yang bahannya dari kayu balsa yang hanrganya sangat terjangkau. Harga ARF (Almost Ready to Fly) Rp.20.000,- Karena pesawat seperti inilah yang mirip dengan yang saya tonton di acara Hasta Karya TVRI kurang lebih dua puluh tahun yang silam sewaktu masa kanak-kanak saya dulu yang indah.