Rabu, 06 Februari 2013
Cerita Si Gabus
Banyak tetek bengeknya, sebentar terbangnya, dan racunnya yang mumpuni. Itulah tiga istilah yang disandang buat pesawat gabus saya. Kenapa bisa demikian? Untuk predikat yang pertama, sebenarnya si gabus sebelum terbang sudah lama nganggur dan nangkring di atas lemari buku. Sekitar tiga tahun hanya bisa sebagai penghias lemari buku, akibatnya debunya telah menumpuk-numpuk. Dalam sejarah terbangnya, hanya sekali test flight yang saya lakukan di sekitar stadium La Patau Watampone semenjak dibuat di Denpasar oleh maestro aeromodeling Bali, pak Hari.
Catatan test flight mengisahkan saat mabur, si Gabus belum level atau belum bisa terbang secara mendatar, aman, dan nyaman. Yang terjadi adalah saat throttle diangkat sampai 50% hidung si Gabus menukik ke atas secara dramatis. Sehingga terbangnya mirip pertunjukan lumba-lumba udara. Akhirnya saya putuskan untuk melakukan pendaratan dengan segera di atas sawah. Setelah memeriksa pesawat tempat dudukan rodanya lepas. Tetek bengek yang pertama ini saya selesaikan dengan merekatkan kembali dengan menggunakan lem Araldite warna merah putih. Setelah itu, si Gabus kembali nangkring dengan manis di atas lemari buku selama lebih dari dua tahun. Sehingga bodinya kembali berdebu, sedebu-debunya.
Awal 2013 ini, rasa rindu menerbangkan si Gabus kembali bergelora. Namun apa daya teknik dasar menerbangkannya sudah banyak yang terhapus di memori otak saya karena sudah sangat lama tidak disentuh lagi. Misalnya jika pesawat belum level di udara memerlukan teknik trim, cara mencharge baterai, setting channel pada remote control, dan harus melatih jari tangan lagi di flight simulator.
Untuk memecahkan masalah tetek bengek kedua ini maka cara yang saya tempuh yakni pergi ke komunitas aeromodeling minta tolong untuk mentrim terbangnya si Gabus. Maka saya harus ke Makassar yang jaraknya hampir 200 km atau sekitar 4,5 jam kendaraan umum. Kebetulan masih ada nomornya Om Erwin Junjun di HP saya, seorang penggiat aeromodeling Makassar. Tiba di Makassar saya bersama si Gabus disambut dengan hujan di pagi hari sambil menuju ke rumahnya Om Erwin di pusat kota Makassar, dibilangan jalan Kakatua.
Dengan pemandangan sepanjang jalan becek semua jalanan dan sekali-kali terdapat genangan air, perjalanan kami menuju lapangan di sekitar Tanjung Bunga, daerah pinggir laut di Makassar. Lapangan yang biasanya digunakan untuk terbang di tempat ini rumputnya sudah gondrong karena komunitas di sini sudah jarang terbang dan hampir setiap hari kota ini diguyur hujan. Sebelumnya, di rumah Om Erwin sudah dicoba receivernya dan kelihatannya throttle, aileron, elevator, dan rudder berfungsi dengan baik. Namun, saat tiba di lapangan rumput gondrong dan sengatan matahari menyambut kami diiringi angin yang berhembus sepoi-sepoi.
Setelah baterai, receiver, dan remote control terpasang, tiba-tiba saja respon macet pada receiver. Om Erwin mengkalim bahwa jika dipaksakan terbang ibarat keadaan tanggap darurat. Bisa membuat pesawat bakal crash akibat receiver ngambek. Namun tak lama kemudian, receiver merespon kembali sehingga menguatkan hati untuk menerbangkan si Gabus dengan cara hand launching. Terbangnya mirip lumba-lumba di udara, namun setelah ditrim si Gabus sudah agak level. Namun sayang, sesaat setelah hand launching tiba-tiba saja salah satu rodanya terlepas di udara. Hal ini menambah daftar ketiga tetek bengeknya. Mengingat pesawat belum sepenuhnya level dan hembusan angin yang mengakibatkan si Gabus tambah tidak bisa level akhirnya diputuskanlah untuk mendarat.
Setelah mendarat di semak-semak yang gondrong dan akibat mendaratnya tidak normal yakni tidak menggunakan roda, tetek bengek keempat tercipta yakni tempat roda pendaratan yang terpasang pada bagian depan fusalege kembali tercabut. Hal ini menambah beban PR untuk recovery. Setelah check flight ini, kami pun kembali. Saya antar Om Erwin kembali ke rumahnya dan saya langsung mabur kembali ke Watampone.
Tetek bengek kelima yakni mencari alat penggati roda pendaratan. Jika dipesan di toko online maka akan semakin lama menunggu untuk terbang hingga kiriman barang datang. Setelah sedikit memutar otak, maka pilihan jatuh pada bekas roda mobil-mobilan. Dicopotlah dua roda junk toy dan bekas polpen untuk menahan roda agar tidak lepas dari tempat roda. Setelah semuanya terpasang maka tetek bengek keenam yakni saya harus merekatkan kembali tempat roda tersebut pada fuselage karena terlepas saat di test flight Makassar.
Tetek bengek ketujuh, pagi-pagi saya ke halaman stadium La Patau Watampone untuk mencoba terbang tanpa hand launching sambil mencoba ban barunya tadi hasil kanibal junk toy. Setelah cek fungsi receiver, ternyata ianya macet. Keputusannya, tidak jadi terbang! Padahal Om Hengki yang secara kebetulan ketemu di jalan sudah rela menunggu si Gabus terbang. Jadi kembali lagi deh ke rumah. Receiver yang ngambek saya ganti dengan menggunakan copotannya si kuning Wing Dragon besutan Art Tech. Saya harus menunggu satu hari lagi untuk test flight ke lapangan yang lain.
Tetek bengek kedelapan ini yakni saya harus ke Lapangan Terbang yang jaraknya kurang lebih 10 km dari Watampone. Memerlukan sedikit perjuangan karena sebenarnya jalanan ke sana merupakan jalanan poros ke Sengkang yang teraspal bagus. Namun pada saat belok masuk menuju lokasi maka kita harus pelan-pelan karena jalanan penuh dengan lubang genangan air. Setibanya di lapangan sebenarnya landasannya sudah jadi. Namun sepanjang mata memandang yang banyak terlihat yakni sapi beserta kotorannya menghiasi run way. Saya coba rogging dan si Gabus berhasil terbang. Lagi-lagi masih belum level. Saya coba trim sendiri sambil mengingat-ingat hasil diskusi kemarin dengan Om Erwin JunJun. Akhirnya pesawat mulai ada tanda-tanda lebih tenang dan level terbangnya namun saat throttle diangkat hingga sekitar 40%, lagi-lagi moncong si Gabus menukik ke atas dengan tajam. Pesawat sempat muter-muter di atas run way. Setelah pesawat didaratkan dan mencek semua alat ternyata dapat bonus yakni batere li po 11,1 v 1300 mAh menjadi bunting. Wuih.. tetek bengeknya menjadi lebih istimewa.
Untuk predikat kedua yakni durasi waktu terbangnya singkat. Sepertinya lebih banyak waktu dan tenaga yang terbuang untuk tahap persiapan terbang ketimbang terbangnya sendiri. Dengan spesifikasi teknis panjang sayap 101 cm, lebar sayap 20 cm, panjang fuselage 75 cm , motor Max CF2822 11,1v, propeller, 10x4,7, dan 4 servo. Saat terbang di atas run way bandara Bone hanya sekitar 10 menit. Itupun belum sepenuhnya pesawatnya level. Jadi kalau berbicara mengenai kepuasan, saya sebenarnya belum puas menerbangkan si Gabus karena masih ada PR lain yang harus dipecahkan agar pesawat ini terbangnya adem dan level. Padahal salah satu keasyikan hobbi ini adalah kepuasan dalam menerbangkan pesawat. Kepuasan yang saya maksud yaitu kita boleh mengontrol pesawat terbang sesuka hati kita dengan aman dan nyaman. Kepuasan inilah yang biasanya menjadi alasan dengan istilah kata ‘relatif’ jika berbicara mengenai harga pesawat yang mahal.
Predikat terakhir yakni racunnya bisa-bisa menjalar hingga ke sum-sum. Jika terlanjur tertarik dan mencintai hobi ini, harga pesawat yang biasanya menjadi momok bagi yang baru mengenal hobi ini bukanlah menjadi persoalan yang utama. Karena rasa penasaran yang begitu mendalam untuk mengendalikan pesawat di udara. Hal ini tentunya mempunyai sensasi kepuasan tersendiri yang biasanya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebagai ilustrasi untuk pesawat elektrik high wing untuk pemula kelas Wing Dragon, untuk memulai hobbi ini kita harus merongoh kocek setidaknya 1,5 juta untuk sebuah pesawat tenaga baterai. Ini biasanya belum termasuk baterai, remote control dan receivernya. Lain lagi ceritanya jika kita berada jauh dari komunitas aeromodeling atau jauh dari kota besar. Tentunya untuk memesan pesawat dari toko aeromodeling online harus menambah ongkos kirim yang jumlah hitungan rupiahnya juga lumayan. Nah, apa yang terjadi jika saat memulai hobi ini dan sudah merongoh kocek dalam-dalam lalu pesawatnya crash? Bagi yang sudah keracunan tentunya rencana selanjutnya yakni memperbaiki pesawat tadi atau bahkan membeli pesawat lagi yang harganya lumayan buat biaya hidup sebulan.
Saya malah berpikir untuk betul-betul merasakan kepuasan dalam aeromodeling , mungkin sebaiknya armada perlu setidaknya dua pesawat baru lagi ditambah baterai cadangan, roda cadangan, baling-baling cadangan, servo cadangan, dan motor cadangan. Nah, Anda bisa menghitung sendiri berapa biaya yang diperlukan. Bisa bisa setara dengan gaji satu atau dua bulan. Namun jika sudah kecanduan atau racunnya sudah menjalar (istilah di grup diskusi aeromodeling Gaero) maka biaya tadi bisa menjadi menjadi urutan kedua atau ketiga. Yang penting niat untuk menerbangkan pesawat sudah kesampaian. Bukankah kepuasan itu sifatnya relatif?
Cerita si Gabus ini saya sudahi dulu. Dengan berat hati, si Gabus saya parkir untuk sementara waktu dan bakal mendapat lagi debu sedebu-debunya hingga ia siap terbang lagi atau mungkin bakal ada teman terbangnya berupa armada baru.
Langganan:
Postingan (Atom)